HI.NET-Wali Kota Surabaya, Tri Rismaharini tak betah mendapat kritikan dari warganya. Ia terlihat putus asa atas kebijakan penutupan eks lokalisasi dolly yang dilakukan 2015 lalu, bahkan wali kota perempuan pertama ini rela dibunuh.
Pernyataan Risma ini muncul karena ada gugatan dari sejumlah selompok yang menggugat (class action) Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya sebesar Rp270 miliar. Atas gugatan itu, Politis PDIP ini angkat bicara. “Saya wes gak apa-apa sudah, kalau mau itu (lanjut permasalahan) bunuh saya, bunuh saya ya, biar selesai gak apa-apa. Tapi saya gak ikhlas kalau anak-anak Surabaya hancur,” kata Wali Kota Surabaya Risma dengan nada geram.
Risma menjelaskan alasannya merubah lokasi prostitusi terbesar di Jatim itu menjadi ramah seperti saat ini, adalah untuk masa depan anak-anak serta generasi penerus. “Saya berharap sekali lagi, ini bukan untuk saya. Saya nggak perlu di tulis itu (di dalam berita) ‘Risma apa…’ saya nggak butuh terkenal. Ini untuk anak-anak, bukan anak-anak di dolly saja tapi juga anak-anak Surabaya,” tuturnya.
Risma mengaku, sebenarnya kalau mengetahui cerita secara langsung kondisi anak-anak dolly sangat miris. “Kalau tahu ceritanya itu mengerikan sekali, tapi saya nggak pingin cerita itulah yang sudah-sudah. Ayo kita mulai, yang bermasalah ayo kita selesaikan,” ujar dia.
Penutupan lokalisasi dolly merupakan upaya memutuskan mata rantai keburukan. Ia berharap dengan putusnya rantai pengaruh buruk, anak-anak Surabaya tak lagi mempunyai masalah, sehingga tetap bisa bersaing dengan anak-anak bangsa lain. “Nah kalau ini kita putus, kalau kita lanjut kita lost generation itu,” jelas Risma.
Sebelumnya, Majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Surabaya menolak gugatan Class Action yang diajukan Front Pekerja Lokalisasi (FPL) dan Komunitas Pemuda Independen (KOPI).
Mereka diketahui menuntut kesejahteraan ekonomi warga Jarak-Dolly pada Pemerintah Kota Surabaya.
Penolakan gugatan senilai Rp 270 miliar dibacakan Ketua Majelis Hakim, Dwi Winarko, di Ruang Cakra, PN Surabaya, Senin (3/9/2018) lalu. “Menimbang setelah diteliti, gugatan tersebut tidak memuat unsur terkait mekanisme gugatan Class Action sesuai dengan Peraturan Mahkamah Agung No. 1. Seharusnya gugatan ini diajukan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN),” kata Ketua Majelis Hakim, Dwi Winarko.
Sementara Kuasa Hukum penggugat, Nain Suryono mengatakan, pertimbangan majelis hakim yang menolak gugatan itu tidak sesuai dengan peraturan. “Syarat class action diatur dalam pasal 2 dan pasal 3. Seharusnya gugatan kami sudah memenuhi syarat,” katanya.
Nain mengatakan, di dalam posita (alasan) gugatan itu sudah dicantumkan tentang legal standing atau kelompok dari warga Jarak-Dolly yang terdampak dari kebijakan Pemkot Surabaya.
“Seharusnya majelis hakim mempelajari hak ekonomi yang dilakukan pemerintah itu tidak mengena kepada penggugat, karena mereka berhak menerima hak-hak ekonominya,” terang dia.
Kuasa Hukum Tergugat dari Pemkot Surabaya, M Fajar, mengaku bersyukur atas ditolaknya gugatan itu. Dia menganggap penolakan dari majelis hakim sudah tidak sesuai dengan persyaratan Mahkamah Agung (MA) yakni pasal 53 ayat 1 UU no. 5 tahun 1986. “Kami siap apabila gugatan ini dilanjutkan ke PTUN,” terangnya.
Kolom Komentar: